Lupakah Dia?
Ketika
dia yang digadang-gadang penyair papan pun novelis terkenal, lantas cuma bisa
manfaatkan ketenaran dengan menghina karya sesama seniman, menuduh seenaknya,
menghukum sesukanya, hanya lantaran baris-baris lirik lagu yang menurutnya tak
berkesesuaian dengan keharusannya, maka apatah lagi yang dapat diucap bila
ternyata penyair dan novelis pun tak mengerti atau tak mau mengerti arti
kiasan, tak paham atau tak mau paham, bahwa lirik lagu adalah perlambang dan
bukan harus dibaca dan dimengerti kata per kata.
Ketika
dia yang dianggap hebat dalam dunia sastra, lantas hanya dapat menyindir dan
menyudutkan karya seni lainnya, lupakah dia metafora, perlambang, dan berbagai
ini-itu dunia seni, yang tak serta merta harus dibaca dan diartikan apa adanya.
Maka
apakah bedanya "bagimu negeri jiwa raga kami" yang dianggap tak
sesuai dengan keharusan bahwa jiwa raga haruslah untuk TUHAN dan bagi Sang
Pencipta saja jiwa dan raga itu, dengan "bagaimana kalau dulu bukan khuldi
yang dimakan Adam, tapi buah alpukat" yang bisa dianggap juga kenapa lagi
mempertanyakan apa yang telah digariskan TUHAN.
Seharusnya
memang tidak. Tidak memang seharusnya.
Lirik
lagu, baris puisi, bukanlah harus serta merta diartikan apa adanya, karena dia
penuh perlambang, penuh metafora, penuh kiasan, dan segalanya, yang bisa
berarti banyak, bisa berarti sedikit, bisa juga berarti gabungan.
Komponis,
penyair, novelis, dan setiap insan, punya makna, punya sumbangsih untuk negeri
ini, janganlah saling bertikai dan tak perlu saling menghina karya lain.
Tulislah,
gambarlah, lagukanlah bersama-sama, dalam keberagaman yang indah, dan saling
menghormati satu sama lain.
Begitu
seharusnya. Seharusnya begitu.
Bintaro
Sektor IX, 28 Januari 2017
Berthold
Sinaulan
Memalukan, Memuakkan
Makin
lama sastrawan tua itu makin membosankan
bikin
catatan seperti puisi penuh kemarahan
segalanya
salah di matanya yang tua dan mungkin sudah rabun
tak
mau atau tak bisa mengerti jangan-jangan sudah pikun.
Dia
bilang agamanya sedang ditekan
padahal
tak ada yang tekan mayoritas
sebaliknya
yang terjadi adalah penekanan
demi
penekanan terhadap minoritas.
Penuh
keanehan dalam catatannya
Segala
hal dibolak-balik seenaknya
bilang
mereka yang diancam
padahal
merekalah yang mengancam.
Lantas
terus-menerus tanpa lelah
sentimen
SARA diprovokasi terus
bisa
jadi nuraninya telah tergerus
tak
peduli negara terpecah belah.
Maka
kalau kau mengaku malu
menjadi
orang Indonesia
hanyalah
pernyataan sia-sia
ungkapan
kosong bertalu-talu.
Jadi
orang Indonesia kami bangga
meski
masih banyak yang harus ditata
tapi
bukannya kami hanya menghina
melainkan
memilih bekerja bersama-sama.
Jadi
kalau kau mengaku malu
lebih
baik kau diam terpaku
jangan
ganggu kerja kami
yang
ingin bangun negeri ini.
Memalukan
tua-tua
keladi
makin
tua makin jadi
memuakkan.
Bintaro
Sektor IX, 3 April 2017
Berthold
Sinaulan
Kepada Sastrawan Tua
Sudah
tua kau, sudah jadi sastrawan terhormat
nama
besar sudah kau punya, tapi
sekarang
malah ikut-ikutan jadi provokator
berteriak
asing dan aseng, memainkan sentimen rakyat
agar
terdorong semangatmu yang ingin memecah belah
keharmonisan
dan kedamaian di negeri ini.
Manalah
mungkin yang mayoritas ditekan?
yang
terjadi justru minoritas terus dihambat
tidak
boleh ini, tidak boleh itu,
kalau
perlu memang tidak boleh apa-apa. Sekian.
Merenunglah
kau, merenunglah di hari tuamu
jangan
kau ikuti nafsumu yang ingin menghantam
menghancurkan
seolah yang lain tak berhak
hidup
di negeri Pancasila ini.
Sastrawan
tua, padamu kukatakan
kuhormati
karyamu, tapi tidak lagi
pada
dirimu yang telah kau benamkan sendiri
ke
dalam lumpur nafsu angkara dan semangat
mau
menang sendiri. Stop.
Bintaro
Sektor IX, 3 April 2017
Berthold
Sinaulan