Kamis, 05 Mei 2016

Seragam atau Beragam



Bapak Arief Rachman dengan seragam Pramuka yang dikenakannya. (Foto: diambil dari Kantor Berita Politik rmol.co)

Pagi hari Rabu, 4 Mei 2016, saya mendapat pesan layan singkat (SMS) dari seorang sahabat yang isinya undangan untuk menghadiri uji publik terhadap laporan periodik Pemerintah RI terkait Konvensi Unesco 2005 tentang proteksi dan promosi dari keberagaman ekspresi budaya. Acara itu diselenggarakan oleh UNESCO dan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Hotel Atlet Century, Jakarta.
Dia mengaku terlambat memberitahu, namun berharap saya dapat hadir mewakili Pengurus Pusat Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), di mana saat ini saya membaktikan diri sebagai Ketua Harian-nya. Saya diundang karena Ketua Umum IAAI, Bapak Junus Satrio Atmodjo, sedang tidak berada di Jakarta. Dia sedang berpergian ke Jawa Tengah.
Saya pun akhirnya hadir. Unrung tidak terlambat. Namun walau pun kehadiran saya sebagai seorang yang mewakili organisasi profesi arkeologi, karena sampai sekarang saya juga seorang Pramuka yang aktif sejak menjadi Calon Pramuka Siaga pada 1968, maka begitu tiba di ruang pertemuan, yang pertama menarik perhatian saya adalah seorang bapak yang mengenakan seragam Pramuka nyaris lengkap. Saya sebut nyaris lengkap, karena baju maupun celana yang dikenakannya memang bagian dari seragam Pramuka lengkap dengan tanda-tandanya, kecuali bapak itu tak memakai setangan leher atau lazim juga disebut kacu atau hasduk.
Ternyata beliau adalah Bapak Prof. Arief Rachman, tokoh pendidik, guru Bahasa Inggris, dan lekat namanya dengan lembaga pendidikan sekolah Laboratorium School (Lab School) di Jakarta. Pak Arief Rachman hadir dan ikut memberi sambutan di acara pembukaan, dalam kapasitasnya sebagai Executive Chairman of Indonesian National Commission for UNESCO (Ketua Eksekutif Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO).
Saat menyampaikan sambutannya, Pak Arief Rachman menyinggung juga tentang baju yang dikenakannya. Dia berkata, hari ini saya menggunakan seragam Pramuka, karena setiap Rabu adalah hari latihan Pramuka untuk gugusdepan yang ada di sekolah-sekolah di Jakarta. Ini bukan pertama kali Pak Arief Rachman tampil pada acara di luar acara kepramukaan dengan mengenakan seragam Pramuka, walaupun tanpa setangan leher. Bila ada acara yang harus dihadirinya pada hari Rabu, maka seperti tenaga pendidik dan siswa di sekolah-sekolah di Jakarta, Pak Arief Rachman mengenakan seragam Pramuka.
Hal itu juga dijelaskannya kepada Dutabesar Swedia yang juga hadir, Yang Mulia Ibu Johanna Brismar Skoog, “Kalau ibu lihat di mana-mana di Jakarta, pada hari Rabu ini semua pelajar menggunakan seragam Pramuka yang sama,” tuturnya.
Sebelumnya, Pak Arief Rachman telah berbicara tentang Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi satu, dan juga mengenai cultural diversity atau keberagaman budaya yang menjadi topik pertemuan itu. Dia kemudian menyinggung sedikit tentang penyatuan berbagai organisasi kepanduan di Indonesia menjadi satu dan diberi nama Gerakan Pramuka pada awal 1960-an, tepatnya pada 1961. Tadinya, kata Pak Arief Rachman, tiap-tiap organisasi kepanduan mempunyai seragam sendiri yang berbeda-beda warnanya antara satu organisasi dengan yang lain. Sekarang semua menjadi satu, cokelat muda dan cokelat tua.
“Apakah ini kekuatan atau kelemahan? Kalau menurut saya ini kelemahan. Kita harus menghargai keberagaman,” ujarnya lagi.
Tentu saja Pak Arief Rachman tidak bermaksud agar para Pramuka terpecah-pecah, tetapi dengan menghargai keberagaman, kita bisa tetap menjadi satu. Kembali lagi ke Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu tujuan. Mungkin maksudnya, walaupun organisasi pandu berbeda-beda tetapi tujuannya sama, tujuannya satu yaitu tujuan pendidikan kepanduan.
Saya sendiri berpendapat, karena sudah terlanjur menggunakan seragam yang sama, maka cukup sulit dan memakan biaya besar sekali kalau misalnya tiap kelompok  - dalam hal ini gugusdepan atau kwartir di tingkat cabang (kotamadya/kabupaten) atau daerah (provinsi) – diizinkan menggunakan seragam-seragam yang berbeda. Sekadar untuk dapat menunjukkan ciri khas masing-masing kota, kabupaten, atau provinsi.
Cara termudah mungkin bisa dengan membebaskan dan membiarkan kreasi dari tiap kwartir cabang membuat setangan leher dengan warna dan desain gambar berbeda. Ini juga sesuai dengan topik pertemuan, yaitu kebebasan berekspresi dan berkreasi.
Persoalannya pasti banyak yang menentang, apalagi kalau dikait-kaitkan dengan warna merah dan putih pada setangan leher Pramuka saat ini. Bakal ada saja yang berkomentar, “Tidak nasionalis, mengganti merah putih dengan lainnya”. Ada lagi yang mungkin berkata pedas, “Kalau diganti berarti tidak menghormati bendera kita”.
Padahal setangan leher jelas bukan bendera. Walaupun ada warna merah dan putih, bentuknya berbeda. Bendera berbentuk empat persegi panjang, sedangkan setangan leher berbentuk segitiga. Penempatan warna merah dan warna putih juga berbeda antara bendera dan setangan leher. Jelas sekali setangan leher bukanlah bendera Merah Putih.
Walaupun demikian karena sudah ada kesepakatan dan juga telah dituangkan dalam peraturan serta petunjuk penyelenggaraan tentang setangan leher anggota Gerakan Pramuka, maka untuk kegiatan nasional dan daerah, tetap saja menggunakan setangan leher yang sudah ada sekarang. Termasuk untuk kegiatan internasional, para anggota Gerakan Pramuka yang menjadi bagian kontingen atau delegasi resmi, harus menggunakan setangan leher yang berlaku saat ini.
Sebaliknya, untuk tingkat gugus depan atau kwartir cabang, silakan saja bebas berekspresi menampilkan ide seni desain masing-masing. Ini kemungkinan besar akan membuat generasi muda anggota Gerakan Pramuka menjadi lebih kreatif dan lebih bangga dengan setangan leher khas kelompok mereka. 
Selain setangan leher, penggunaan pakaian lapangan juga dapat dimanfaatkan oleh gugusdepan atau kwartir untuk menampilkan kreasi masing-masing. Bisa juga ditambah dengan ciri khas daerah pada desainnya. Pakaian lapangan memang secara umum lebih dibebaskan bentuk, desain, dan penggunaannya, dibandingkan dengan seragam Pramuka yang harus taat aturan.
Jadi kalau pun pakaian lapangan atau mungkin setangan leher berbeda, seperti dikatakan Pak Arief Rachman, dengan keberagaman pun kita tetap bisa bersatu. Sama-sama sejalan dengan tujuan gerakan pendidikan kepanduan umumnya dan Gerakan Pramuka khususnya, yaitu membentuk membentuk setiap Pramuka agar menjadi pribadi yang beriman, bertakwa, memiliki akhlak yang mulia, mempunyai jiwa patriotik, taat terhadap hukum, dan disiplin.
Melalui pendidikan kepramukaan itu, diharapkan dapat lahir juga pribadi yang menjunjung tinggi nilai keluhuran bangsa Indonesia, serta memiliki dan menguasai kecakapan hidup. Sehingga mereka dapat menjadi kader bangsa yang mampu menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus mengamalkan Pancasila, dan melestarikan lingkungan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar